Denpasar
hari itu berbeda dengan Denpasar pada hari biasanya. Tak ada lalu lalang
kendaraan, tak ada aktivitas warga, Pantai Kuta yang biasanya disesaki oleh
manusia nampak lenggang yang ada hanya suara debur ombak yang berkejaran.
Siaran stasiun televisi dan radio pun tidak melakukan siaran selama 24 jam.
Benar-benar
sepi, karena hari itu tepat di saat umat Hindu di Bali melakukan Catur Brata
Penyepian, yakni tidak boleh menyalakan lampu (Amati Geni), tidak boleh
bepergian (Amati Lelungan), tidak boleh bekerja (Amati Karya), dan tidak boleh
bersenang-senang (Amati Lelanguan). Denpasar pun tak ayal berubah drastis seperti halnya kota mati di
saat perayaan Nyepi.
Namun
di saat bersamaan nun jauh beratus kilometer dari pusat kota, ada pemandangan
yang tidak biasa di sebuah perkampungan muslim di wilayah Jembrana, tepatnya di
Desa Yeh Sumbul. Masyarakatnya pada saat perayaan nyepi malah tumpah ruah di
jalanan. “Denpasar sepi tapi disini kayak pasar heheheh” celoteh salah satu
warga di pinggiran jalan kepada penulis beberapa waktu yang lalu.
Menjadi
tak heran melihat riuhnya suasana lantaran mereka menganggap kegiatan ramai-ramai itu sudah merupakan
tradisi turun temurun. “iya dari saya kecil acara kayak gini udah ada” sahutnya
lagi. Jalan raya tempatnya dia berbaur dengan warga lainnya memang tak ada sama
sekali kendaraan yang lewat. Maklum saja, jalan itu di hari biasa sering
dilalui oleh kendaraan dari Pelabuhan
Gilimanuk yang menghubungkan Ketapang (Jatim). Pelabuhan di saat nyepi
dihentikan aktivitasnya, jalanan pun menjadi lenggang.
Nampak
terlihat jelas sejauh mata memandang siang itu, warga memenuhi jalan raya. Ada
yang bersenda gurau, gelar tikar di pinggiran jalan. Beragam kegiatan pun mereka helat mulai dari
perlombaan yang diikuti oleh anak-anak, sampai mereka yang telah berumur.
Serunya jika dilihat Bagi penduduk perkampungan itu nyepi sama saja dengan hari
lebaran. Banyak ibu-ibu yang masak hidangan khas lebaran, mulai dari ketupat
sampai opor ayamnya tak ketinggalan.
Sejarah Desa Yeh Sumbul
Sejarah Desa Yeh Sumbul
Meriah,
yesss!! Yeh Sumbul sendiri dulunya bernama Air Sumbul. Daerah ini sudah ada
sejak tahun 1912. Daerah Air Sumbul dibuka oleh orang-orang Melayu setelah
mereka membuka daerah Air Kuning. Awalnya, Air Sumbul didominasi umat muslim.
Lambat laun, daerah yang berada dekat pantai ini mulai mengalami perimbangan
penduduk. Sebelum tahun 1960-an, Air Sumbul dipimpin oleh kades-kades muslim.
Setelah
tahun 1960, Air Sumbul berganti nama menjadi Yeh Sumbul. Setelah itu, kadesnya
pun lebih dominan umat Hindu, namun bukan berarti semuanya didominasi. Ada
semacam pembagian, jika kades Hindu maka sekdesnya muslim. Hal yang sama juga
berlaku di Subak Air Kuning. Jika klan subak muslim, maka wakilnya Hindu.
Pembagian ini sudah turun-temurun. Soal subak yang masih bernama Air Kuning,
itu merupakan bagian dari sejarah. Harus ada kenangan yang mengingatkan tentang
keberadaan Air Sumbul. Karena itulah, nama subak tetap mempergunakan Air
Sumbul.
Beragam
Budaya Pembauran umat muslim Melayu dengan Hindu Bali ini kemudian melahirkan
beragam budaya. Tak jarang jika ada kenduri di warga muslim, hiburan
dipersembahkan umat Hindu. Demikian pula sebaliknya. Sambroh dan Jidor adalah
kesenian muslim yang sering ditampilkan. Sambroh merupakan kesenian dengan
bernyanyi diiringi rebana, sementara jidur tak jauh beda dengan sambroh. Hanya
alat yang digunakan adalah bungkil kelapa yang dibungkus kulit dan
dipukul-pukul.
Tak
hanya dalam kesenian, dalam ritual kemanusiaan pun sudah terjadi pembauran.
Bayi-bayi muslim di Yeh Sumbul diupacarai layaknya bayi Hindu, seperti kepus
pungsed, nelu bulanin dan otonan. Bahkan, ketika mereka sudah dewasa dan akan
menikah, mereka juga masangih.
Tentu
saja upacara-upacara ini tidak mempergunakan banten layaknya umat Hindu, mereka
hanya mempergunakan sajian tertentu saja. Jika ada warga yang meninggal,
setelah tiga hari dan tujuh hari juga ada acara seperti layaknya orang setelah
ngaben.
Budaya Ngejot pun ada di wilayah ini. Hanya ini dilakukan orang per orang yang
memiliki hubungan yang dekat. Ngejot yang isinya kue-kue dan lontong dilakukan
menjelang Lebaran. Saat malam takbiran, warga akan keliling seperti umat muslim
di tempat lain. Selain itu, hal yang tak boleh dilupakan adalah Tadarusan
(membaca Alquran) pada awal puasa dan akhir puasa.
Sumber:
http://katakelana.wordpress.com/2013/03/15/nyepi-yang-tidak-sepi/
Sumber:
http://katakelana.wordpress.com/2013/03/15/nyepi-yang-tidak-sepi/