Memang agak sulit menemukan ikan jenis ini di lautan, sedalam anda menyelam pun belum tentu dapat melihatnya, namaun coba anda
sempatkan waktu sejenak untuk search di internet, ketiklah keyword untuk ikan
purba di search engine, tunggu sejenak dan pastilah anda akan menemui ikan si
raja laut Coelacanth ini mendominasi laman untuk jenis ikan purba. Bagaimana
tidak, Ikan ini dianggap sebagai ikan tertua (living fossil) yang pernah ada
dan masih hidup di perairan sampai sekarang, tak terkecuali di laut Indonesia.
Coelacanth
di Indonesia
Pada awalnya
Ikan ini sudah dianggap punah, akan tetapi pada tahun 1939 ikan itu ditemukan
di pulau komoro Afrika selatan, pupuslah sudah anggapan yang menyatakan bahwa
ikan ini telah punah dari muka bumi ini 65 juta tahun yang lalu. Untuk di
Indonesia sendiri, kali pertama Coelacanth dilaporkan keberadaannya pada tahun
1997 oleh Dr Mark V Erdmann (Univ. of California di Berkeley, AS) dan istrinya,
Arnaz Mehta, yang melihat ikan raja laut ini dalam keadaan mati di pasar
Bersehati Manado. ”Secara kebetulan ikan itu ditemukan beliau, ikan aneh yang
dilihatnya berada di dlaam troli nelayan, mereka pun merasa heran melihat
pemandangan tidak lazim ini karena terdapat sirip dibawahnya seperti kaki dan
hasil itu dikirim ke Prof. Smith di Amerika tetapi tidak segera dipublikasikan”
kata Augy Syahailatua PhD (Peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI)di
kantornya.
Spesimen ini hanya sempat diambil gambarnya, akan
tetapi oleh Coelacanth Conservation Council diberi nomor urut CCC 174. Augy
juga mengatakan bahwa Ikan ini termasuk jenis ikan Omnivora karena pemakan
segalanya, sifatnya lebih suka (wait and sea) menunggu mangsa yang lewat di
dekatnya. Habitus ikan ini berada di kedalaman air yang mencapai ratusan meter.
Setahun
kemudian pada 30 Juli 1998, Lameh Sonathan, seorang nelayan dari pulau Manado
Tua secara kebetulan menangkap seorang ikan raja laut, dan kemudian spesimen
ini dijadikan sebagai holotype Latimeria menadoensis (Pouyaud, Wirjoatmodjo,
Rachmatika, Tjakrawidjaja, et al., 1999), demikian nama ilmiah yang diberikan
oleh Comptes Rendus de L’Academie des Sciences pada Maret 1999. Spesimen yang
kedua ini diberi nomor urut CCC 175, kemudian diangkut ke Bogor dan selanjutnya
diawetkan dan disimpan di Museum Zoologi Bogor yang berlokasi di Cibinong
Science Centre - LIPI.
Penemuan dua
spesimen raja laut di Sulawesi utara sangat menarik perhatian ilmuwan nasional
dan manca negara sehingga pada tahun 1999, Max Planc Institute (Jerman) dan
LIPI melakukan kerjasama riset dengan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII
dan Submersible ”Jago”. Dari riset ini dapat direkam keberadaan dua ekor raja
laut pada kedalaman 145 meter di laut Sulawesi
.
Selanjutnya
satu survei biologi ikan raja laut dirancang oleh para peneliti dari Pusat
Penelitian Oseanografi LIPI, Aquamarine Fukushima (Jepang), dan Univ. Sam
Ratulangi untuk mengetahui distribusi dari raja laut di perairan Sulawesi. Pada
tahun 2006, berhasil direkam dengan ROV (Remotely Operated Vehicle) sejumlah
ikan raja laut yang hidup pada kedalaman 150 m di Laut Sulawesi.
4 Coelacant
1 dekade di Indonesia
Pada Sabtu
19 Mei 2007, seekor raja laut tertangkap oleh mata pancing dari nelayan lokal
Justinus Lahama dan anaknya, Delvi Lahama, di pantai Malalayang. Ikan ini
kemudian menjadi spesimen yang ketiga dari Sulawesi utara. Sebulan kemudian,
yaitu pada 27 Juni 2007, tim survei dari Aquamarine Fukushima, LIPI dan UNSRAT
berhasil merekam keberadaan seekor ikan raja laut di Malalayang (Teluk Manado).
Spesimen ini sempat diekspos di Aquamarine Fukushima untuk beberapa bulan, dan
saat ini sudah berada di Manado untuk nantinya akan dijadikan maskot dari World
Ocean Conference 2009.
Kembali pada 22 November 2008, laporan dari daerah
Talise (55 mil laut dari Manado) bahwa seekor raja laut berukuran panjang 110
cm dan berat 20 kg, tertangkap. Spesimen ini menjadi yang ke-4 selama 10 tahun
terakhir. Dengan
beberapa penemuan ikan raja laut dan semakin dikenalnya ikan ini sebagai salah
satu ikan purba, maka diperlukan langkah-langkah perlindungan. Secara hukum,
ikan ini sudah dilindungi lewat Peraturan Menteri Kehutanan, kemudian oleh
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora). Namun, sangat diperlukan riset yang lebih intensif untuk mengetahui
dimana keberadaan ikan raja laut dengan jumlah yang signifikan, sehingga lokasi
konservasi menjadi lebih efektif. Disamping, itu pengayaan informasi ikan raja
laut untuk tujuan ilmu pengetahuan tetap dikembangkan. (berbagai sumber)