Menjadi
suatu pengalaman yang menarik jika kita
melakukan ibadah puasa di tempat yang sama sekali baru. Baru dalam budaya,
lingkungan sosial maupun kebiasaan masyarakat setempat yang akhirnya menjadi
sebuah pengalaman yang tak mungkin terlupakan.
Awal bulan Juli ini tepat satu hari sebelum umat muslim se-dunia menunaikan ibadah puasa, saya berkunjung ke
rumah kerabat dekat di sebuah desa yang bernama Desa Yeh Sumbul yang terletak
di kecamatan Mendoyo, Jembrana, Bali.
Perjalanan
kurang lebih memakan waktu dua jam dari Denpasar melalui jalan yang
menghubungkan Gilimanuk-Denpasar. Sepanjang Jalan lancar tak ada macet,
sepertinya soal macet hanya milik Jakarta atau pantura di saat menjelang hari
raya, dan tidak perjalanan saya saat itu. Berangkat dengan menaiki mobil Avansa
sewaan yang kebetulan drivernya adalah teman temannya saya. Saya berangkat
sekitar pukul 12 siang dan sampai di Desa Yeh Sumbul sekitar pukul setengah
tiga.
Sesampainya
di sana saya berencana menginap selama
satu hari di rumah teman yang lokasinya tak jauh dari
Masjid Baitul Al-Alimin. Sejauh mata memandang sekilas desa ini tak jauh berbeda dengan desa-desa
lain yang pernah saya kunjungi entah di Jawa atau di tempat lain. Namun yang berbeda, desa ini adalah desa muslim yang
berada di Bali yang notabene mayoritas penduduknya adalah beragama Hindu. Jumlahnya
tentu bisa dihitung dengan jari. Desa Yeh Sumbul ini merupakan salah satu desa
muslim yang ada di Bali selain Kampung Muslim Pegayaman, Kampung Muslim
Keramas, Kampung Mulim Kepaon, dan yang lainnya.
Masjid Baitul Alimin, Yeh Sumbul
Nah,
penasaran juga bagaimana sih desa muslim ini sejarahnya? Untungnya di rumah itu ada seorang tua yang kebetulan tinggal bersama teman saya. Ditemani
rokok kretek plus segelas kopi hitam di ruang tamu rumahnya, ia bercerita
seingatnya mengenai sejarah dari desanya. Dengan logat Bali yang kental ia berkata desa ini sudah ada sejak lama
dan dibangun oleh orang-orang melayu islam. Dulu namanya pun bukan Yeh Sumbul
melainkan Desa Sumbul. Oleh karena apa dia sedikit lupa, desa Air Sumbul
berubah kemudian menjadi Yeh Sumbul sampai sekarang.
Obrolan pun
bergulir sampai saat desa ini merayakan bulan suci Ramadhan. Sudah menjadi
kebiasaan, euphoria bulan ramadhan pun dirayakan di desa ini. Soal penentuan
awal puasanya kapan, dia selalu menunggu keputusan resmi dari pemerintah dan
tidak ingin mendahuluinya. Senada dengannya, Pengamat sosial dari IAIN Sumatra Utara Ansari Yamamah
yang saya kutip dari Teraspos.com, Ansari mengatakan sangat wajar jika umat Islam
menungggu keputusan pemerintah untuk menyeragamkan awal Ramadhan. Dalam hukum
Islam, upaya mengedepankan keputusan pemerintah tersebut sesuai dengan kaidah
ushul fiqh yakni 'hukmul hakin arfa'ul khilaf'.
Sambil
menunggu keputusan pemerintah, orang tua itu berkata beberapa
hari sebelum bulan ramadhan tiba, para pemuda desa bahu membahu mendirikan pos
kamling ala kadarnya. Namanya juga seadanya, bahan material
pun se-punyanya, ada yang memanfaatkan kayu miliknya sendiri sampai memakai
kayu plus cat-nya orang lain.
“Setiap
RT ada pos kamlingnya” bilang dia. Dan pas malam
takbiran, poskamling itu akan diisi oleh
seperangkat stereo radio. Alhasil seperti berlomba, para pemuda desa di setiap pos kamling akan
menyetel lagu-lagu kencang-kencang menyambut Ramadhan. Pos kamling itu sifatnya
temporer, pasalnya setelah bulan puasa usai, pos kamling itu biasanya akan
dibiarkan begitu saja atau dibongkar
terserah dari maunya pemuda-pemuda desa.
Gardu dan Tiang Lampu
Tak
hanya mendirikan pos kamling saja pada H-1 para pemuda desa di beberapa RT di
sana juga gotong royong memasang lampu di jalan-jalan. Seperti tradisi namun
entah kapan persisnya mereka mulai memasang lampu. Lampu-lampu yang
banyak dipasang bukan sejenis Bohlam melainkan lampu neon. Tak ayal Yeh Sumbul
yang bagi sebagian orang disana tak terlalu terang di hari biasa, di bulan
Ramadhan desa Yeh sumbul menjadi desa yang terang saat malam menjelang. Orang tua di desa itu bilang, selain lampu itu
fungsinya sebagai penerang desa juga dipasang lantaran sebagai penerang seperti
ramadhan yang memberikan “terang”bagi kita semuanya.
Yup,
mendengar penjelasannya membuat sedikit penasaran seperti apa bentuk lampu dan
gardunya itu? Saya pun keluar rumah dan pergi mencarinya. Belum banyak
melangkah, nampak lah lampu-lampu itu di pinggiran jalan. Tiang-tiang
lampu itu terbuat dari bambu bukan besi. Warna tiangnya seperti mengingatkan kita kepada warna
bendera yaitu merah dan putih, warna atasnya merah dan bawahnya putih. Bentuknya seperti
foto dibawah ini.
Tak
terasa sore menjelang, saya pun kembali ke rumah teman. Segelas kopi hangat sudah
tersedia di atas meja ruang tamu. Tak pakai lama secara hari ini adalah hari
terakhir saya bisa minum kopi di sore hari, kopi segelas pun habis dalam
sekejap. Orang tua itu sudah bersiap-siap ingin ke masjid melaksanakan sholat
magrib. Sebelum dia melangkah keluar, saya
bertanya bagaimana sholat Teraweh di desa ini, orang tua itu lantas menjawab Sholat
Teraweh disini tak ada bedanya dengan sholat-sholat teraweh di daerah lain,
baik rakaat ataupun tata cara lainnya. Hanya saja orang-orang desa ini secara
bergantian setelah Sholat Terawih menghantarkan cemilan/makanan kepada
orang-orang yang sedang Tadarusan di Masjid. Selang beberapa menit, orang tua
itu pun berangkat ke masjid, tinggalah saya yang besok sore sudah harus kembali
ke Denpasar.
Berbicara
soal yang unik-unik di Desa Muslim di Bali, ternyata tidak hanya desa muslim Yeh
Sumbul saja yang mempunyai keunikan di saat bulan Ramadhan. Di Bali ada sebuah
kampung yang bernama Kampung Pegayaman di wilayah Buleleng yang punya tradisi
yang tak kalah unik. Pria muslim di
kampung ini menjalankan solat Tarawih menjelang pukul 22.00 WITA. Mereka
memberikan kesempatan kepada kaum wanita untuk solat Tarawih lebih dahulu
karena wanita memiliki lebih banyak kesibukan. Selain itu, masyarakat juga
sepakat hanya ada satu masjid di kampung ini yaitu masjid Safi Natussalam.
sumber:
http://katakelana.wordpress.com/2013/08/02/sedikit-cerita-ramadhan-dari-yeh-sumbul/
sumber:
http://katakelana.wordpress.com/2013/08/02/sedikit-cerita-ramadhan-dari-yeh-sumbul/