Kisah Durhaka dibalik Batu Besar Balai di Bangka


Salah satu hal yang menarik dari objek wisata di wilayah Bangka Belitung, selain dari pantai-pantainya yang eksotis, adalah adanya batu-batu yang ukurannya besar. Sebut saja batu-batu yang berada di tepian Pantai Tanjung Tinggi ataupun di Pantai Bedaun yang juga mempunyai batu-batu khas pulau Bangka yang lebih besar ukurannya dari pantai-pantai lainnnya. Belum lagi dengan Pantai Batu Perahu di Toboali yang dilengkapi dengan susunan batu-batu granit berukuran besar plus keindahan pasir putih pantainya.


Nah, di negeri laskar pelangi ini juga ada sebuah batu yang tak kalah menariknya yaitu Batu Balai. Batu ini merupakan salah satu keajaiban alam di Bangka Barat, tepatnya di Kampung Balai, Kelurahan Tanjung, Muntok. Batu besar itu bertumpuk dua dan bagian paling atasnya menyerupai buritan sebuah perahu.

Layaknya perahu layar, bagian pinggir batu yang menyerupai buritan tersebut membekas laksana membentuk aluir-alur atau dikenal dengan istilah Polka (tempat pengikat terpal) dalam dunia perkapalan.Sebuah pohon besar tumbuh tepat di antara dua buah batu besar yang tersusun tersebut. Soal berapa umurnya pohon tersebut belum ada informasi yang dapat menjelaskannya. 
Ada yang menarik dari batu ini, ketika dipukul dengan  tangan akan terdengar suara pong-pong sementara dari atas batu terlihat bagian mirip seperti peralatan lemari. Sementara pohon yang berdiri di atas batu dalam cerita yang dikenal masyarakat sebagai tiang perahu layar

Kisah Anak yang durhaka
Keberadaan Batu Balai itu tak terlepas dari cerita rakyat yang mengisahkan tentang anak yang durhaka kepada ibunya. Yup, kisah tentang anak yang durhaka kepada ibunya sepertinya sangat familiar alias tidak asing lagi di telinga kita. Tentu kita tahu Malin kundang bukan? Atau kisah dari batu di sebuah Gua di Aceh yang bernama Gua Putrin Pukes. Keduanya, baik itu Malin Kundang dan Putri Pkues menjadi batu lantaran durhaka kepada ibunya.

Setali tiga keping dengannya, cerita rakyat dibalik Batu Balai pun hampir sama. Menurut tetua di daerah tersebut, dulunya batu itu dilatarbelakangi oleh kehidupan sebuah keluarga dimana ada anak yang bernama Dempu awang bersikapu p durhaka kepada ibunya.

Singkat kata, Dempu Awang pergi merantau untuk kehidupan yang lebih baik, sebagai seoarang ibu pastilah tak ada lagi perbuatan yang mesti dilakukan selain mendoakannya agar sukses di perantauan. Nah,seiring berjalannya waktu ternyata sukses anak itu di perantauan dan punya istri yang cantik jelita. Suatu waktu istrinya ingin melihat menjenguk ibunya Dempu dan Dempu pun mengiyakan. Mereka pun lantas angkat jangkar dan berlayar.

Sesampainya di kampung dan bertemu dengan ibunya Dempu, apa yang terjadi? Tak seperti yang diharapkan, Dempu malu dan tidak mengakui ibu yang berada di hadapannya. Hancurlah berkeping-keping hati Ibunya terlebih saat Dempu mendorong ibunya sampai terjatuh.

Sumpah serapah keluar dari mulut ibunya dan doanya  benar-benar dikabulkan oleh yang punya jagat raya. Saat Dempu Awang hendak berlayar meninggalkan pelabuhan Mentok, tiba-tiba sajan langit menjadi mendung. Tak lama kemudian turun hujan deras disertai angin topan dan petir. Tiba-tiba gelombang laut setinggi gunung menghantam keras kapal Dempu Awang. Kapal  oleng  kapten, huehehehehe, benar saja kapalnya itu terbelah menjadi dua, lalu karam ke dasar laut.

Setelah cuaca kembali cerah, tiba-tiba ada sebuah batu besar di tempat kapal Dempu Awang karam. Batu yang menyerupai kapal besar itu merupakan penjelmaan Dempu Awang dan kapalnya, sedangkan istrinya menjelma menjadi kera putih. Oleh masyarakat setempat batu itu diberi nama sebagai Batu Balai karena dulunya di samping batu itu terdapat sebuah balai yang biasa dijadikan sebagai tempat untuk bermusyawarah. (berbagai sumber)

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama