Minggu
di Maret awal tahun ini cuaca di Bedugul sedikit mendung. Namun tak membuat
keluarga besar Ida menghentikan langkahnya untuk mendaki bukit Bedugul Kab.
Tabanan, Bali. Pendakiannya itu merupakan bagian dari nazar keluarga. Nazar
dalam perbendaharaan kata Islam dan Kristen adalah janji seseorang kepada Sang
Pencipta untuk melakukan sesuatu hal, jika apa yang ia harapkan terpenuhi atau
terkabulkan.
“Abang
saya sudah beli mobil, adik saya juga sudah lunas kredit mobilnya“ kata Ida.
Hari itu pun mereka akan berdoa di sebuah makam
yang dipercaya sebagai salah satu
tokoh penyebar agama Islam di pulau Dewata, Chatib Umar bin Yusuf Al Maghribi.
Hanya saja untuk mencapai lokasinya berdoa dibutuhkan tenaga esktra. Pasalnya,
lokasi makam cukup tinggi dan berada di tengah cagar alam milik Perhutani
Kabupaten Tabanan. Ida memperkirakan
jauhnya mungkin mencapai beberapa kilometer ke atas bukit dari tempat dia
berdiri.
Jam
masih menunjukkan pukul 10.00 WiB, ditemani udara dingin dan mendungnya langit
mereka pun bergegas untuk memulai perjalanan. Satu persatu mereka berjalan kaki
meniti tapak jalan. Rombongan keluarganya tidak sendiri karena pada saat yang
sama berbarengan pula dengan rombongan peziarah lainnya yang berasal dari Jawa.
Namun
tanpa dikira, rutenya ternyata tak semulus yang dibayangkan. Beberapa anggota
keluarga pun ada yang terpelesat atau terantuk dahan ranting yang jatuh di
jalan kecil itu. Saking jauhnya, mereka pun
beristirahat sejenak sekedar untuk bernafas dan meregangkan otot kaki yang
tegang.
Setelah
kurang lebih dua jam mendaki bukit Bedugul, berbarengan dengan para peziarah
lainnya akhirnya mereka sampai ke lokasi makam. Nampak makam berwujud empat
batu nisan untuk dua makam yang berukuran sekitar 4×4 meter yang ditutupi oleh
kain seperti karpet Sajadah. “Siapapun
boleh melihat makam itu dari dekat dan membuka tutupnya“ kata Ida saat
bercerita kepada penulis.
Tanpa ada komando, beberapa keluarganya langsung memanjatkan doa dan sebagiannya
beristirahat di sebuah fasilitas yang
khusus dibangun untuk para peziarah yang datang dari jauh. Tak lebih dari sejam
di lokasi makam, mereka kemudian turun melewati jalur yang sama saat. “capeknya
bukan main kaki mau patah rasanya“ kata Ida.
Sejarah Wali
Pitu di Bali
Makam
diatas bukit Bedugul yang keluarganya kunjungi itu merupakan salah satu makam
dari Wali Pitu atau Wali Tujuh di Bali.
Mengutip buku Perjuangan Wali Pitu
dan Wali Enam di Bali, Wali Pitu sendiri merupakan tokoh penyebar agama
Islam d Pulau Bali. Nama Wali Pitu mulai dikenal sekitar tahun 1990-an.
Waktu
itu ada seorang pemuka agama, Kiai Thoyyib Zen Arifin yang membukukan ke publik
keberadaan Wali Pitu melalui penulisan buku yang berjudul Manaqib Wai Pitu di
Bali dan Raja-raja Islam di Nusantara. Sedangkan objek Wali Pitu itu sendiri
pertama diketemukan oleh KH Noor Hadi Pendiri sekaligus pengasuh Ponpes AlQuran
Raudlotul Hufadz yang berlokasi di Kediri, Tabanan tahun 1979.
Pemberian
gelar nama Wali Pitu dilakukan oleh dua orang ulama yang berasal dari pulau
Jawa. Setelah melakukan pene,itian sebanyak tjuh makam selama beberapa tahun.
Sebagian besar umat Islam di Bali dan Jawamenyetujui nama Wali Pitu. Meskipun
jumlahnya yang dimakamnya lebih dari tujuh.
Wali
Pitu di pulau Bali antara lain RA Siti Khotijah, Pengeran Mas Sepuh, Chatib
Umar bin Yusuf Al Magribi, Habib Ali bin Abu Bakar, Syech Maulana Yusuf Al
Baghdi Al Maghribi, Habib Ali Bin Zaenal Abidin dan Abdul Qodir Muhammad.
Ketujuh makam wali yang menyebar di beberapa daerah di Bali ini hampir tiap
hari mendapat kunjungan wisatawan dari kalangan muslim. Para peziarah
kebanyakan berkunjung pada bulan Syawal atau Maulud.
Untuk makam di atas bukit Bedugul sebenarnya sudah ada lama namun menurut keterangan dari beberapa tokoh masyarakat setempat baru diketemukan sekitar 50 tahun yang lalu oleh seorang yang sedang mencari kayu bakar. Kemudian diumumkan kepada masyarakat kalau di bukit itu ada sebuah makam Wali Pitu. Pada setiap safar pada hari rabu terakhir (Jawa: rabu wekasan) masyarakat muslim setempat berbondong-bondong naik ke bukit unutk berziarah. Hal ini untuk memperingati wafatnya dengan mengadakan doa bersama. Dulu makam tersebut tidak ada yang merawat namun kini sudah terawat dengan baik. Walaupun berada di areal lahan Perhutani, kebebasan peziarah tetap ada.(berbagai sumber)