Tak sengaja melintas di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta sabtu siang itu bersama seorang kawan lama. Lalu lintas tumben tak seperti biasanya, laju kendaraan banyak yang tersendat, pikiran ini masih bertanya-tanya apakah terjadi kecelakaan atau kan apa yang terjadi depan. Dengan kemacetan seperti ini dapatkah sampai tepat waktu di tempat tujuan yang kebetulan pada waktu itu ada janji dengan seorang teman lama di Museum Bank Indonesia.
Yup pikiran usang memang, tak ada waktu yang dapat ditepati jika berada dalam kondisi seperti itu. Alih-alih tak ada jalur lain sebagai pilihan, macet jalan di depan pun mau tidak mau harus di lalui. Di saat bersamaan dari arah sebaliknya banyak terlihat kerumunan orang di pinggiran jalan sedang menonton sesuatu.
Dewa Fat Cu Kung |
Sepertinya ada sesuatu yang menarik di sana, atau kah pertunjukan atau mungkin pawai. Kendaraan pun diparkirkan sementara saking penasaran, nah benar saja setelah melihat lebih dekat, nampak arak-arakan didominasi oleh sekurumunan orang yang berpakaian merah lengkap dengan atribut khas adat Tionghoa. Mencoba berjalan mengikuti arak-arakan, bukan main mengular alias panjang, sepanjang macet kendaraan yang ada di seberang jalannya. Berselang tak lama, teringat janji ingin bertemu dengan seorang kawan, langkah kaki pun perlahan segera menuju ke kendaraan dan meninggalkan pawai.
Nampak pawai itu berjalan begitu meriah dan semarak, antusiasme terlihat dari para peserta pawai yang diikuti oleh warga keturunan Tinghoa dan pribumi. Pun para pengendara yang banyak memarkirkan kendaraan untuk sekedar menontonnya. Nah, terakhir yang menjadi pertanyaan , pawai apa gerangan yang berlangsung siang itu?.
Bertanya kepada salah satu partisipan pawai, jawabannya tidak terlalu memuaskan karena dia hanya menjawab pawai itu adalah pawai ulang tahun Dewa Fat Cu Kung. Baiklah, mungkin itu jawaban terbaik bagi dirinya saat sedang seriusnya mengikuti pawai. Setelah membaca laman-laman berita di dapatlah jawaban ternyata di jalan itu sedang berlangsung perayaan ulang tahun sang dewa.
Ceremonial siang itu bernama Kirab Budaya dan Kiran Gotong Toapekong untuk memperingati ulang tahun Dewa rezeki yang bernama Fat Cu Kung. Fat Cu Kung ini sejatinya adalah seoarang manusia, namun karena bijaksana dan kesaktiannya ia pun disandingkan sebagai seoarang dewa dan kelahirannya selalu diperingati oleh masyarakat keturunan Tionghoa.
Sosok Fat Cu Kung sendiri berawal dari Dinasti Song (960 – 1279M). Dikisahkan, ada tiga orang ksatria yang bermarga Zhang, Xiao dan Hong sedang bertarung dengan seekor siluman ular yang mengacau masyarakat di daerah Yong Chun, tepatnya di Telaga 9 Naga. Karena kehebatan ilmu tarung sang siluman ular, akhirnya Hong dan Xiao tewas dalam pertempuran itu. Namun, beruntung bagi Zhang karena dapat melarikan diri ke sebuah gua pertapaan. Di sini, Zhang lalu memohon bantuan pada Lu Dong Bin, salah satu dewa yang terkenal karena kesaktiannya.
Lu Dong Bin akhirnya berkenan meminjamkan pedang pusakanya pada Zhang untuk berarung melawan siluman ular. Dan karena kehebatan pedang inilah, akhirnya siluman ular dapat dikalahkan. Sejak itu, masyarakat Yong Chun mendirikan sebuah klenteng di gua pertapaan Tao Yuang Dong sebagai rasa hormat pada Zhang. Dari sini kemudian pemujaan kepada Zhang yang memiliki nama lengkap Zhang Gong Shen Jun dimulai. Dan karena kesaktiannya, masyarakat menyebutnya dengan nama Fa Zhu Gong. Di Indonesia kemudian dikenal dengan nama Fat Cu Kung.
Perayaan pesta ultah Dewa Fat Cu Kung terpusat di Vihara Tjoe An Kong atau Kelenteng Fat Cu Kong di Jalan Kemenangan III, Glodog, Jakarta Barat yang kemudian menyebar ke toko Tiga, kemudian ke Jalan Pintu Kecil, Berbelok di Jembatan Layang Kota, Hayam Wuruk, Lurus berbelok di Mangga Besar, Mangga Besar Raya, Berbelok di bawah jembatan Rel, menuju Krukut/Gramedia, Kompas-lurus Hayam Wuruk, Glodok, Berbelok ke Petak Sembilan/Kim TekIek, dan kembali ke Bio Fat Cu Kung.
Perayaan ini merupakan perayaan yang dilakukan aliran Taoisme. Aliran ini merupakan asas, jalan, atau cara yang mempercayai semua benda hidup dan benda-benda alam semesta dunia. Perayaan diikuti dewa-dewa dari vihara seluruh Indonesia. Ada sekitar 80-an dewa yang menghadiri rumah Fat Cu Kung. Mereka adalah penghuni vihara mulai dari di Pulau Jawa, Kalimantan, sampai Sumatera. Mereka disembah oleh Pemeluk Konghu Chu.
Festival yang berlangsung selama dua hari ini bukan sekadar perayaan semata, namun terdapat ritual pemanggilan roh dewa untuk bisa berkomunikasi dengan masyarakat kepercayaan. Beberapa suhu dari berbagai klenteng juga menjalani ritual keagamaan. Dengan menggunakan pakaian khas, mereka memanggil roh para leluhur.
Peserta Kirab meliputi Pasukan Pengibar Bendera Merah Putih, Marching Band dari Karawang, Naga/Liong dari TNI Naga Doreng, Kodam 15 Semarang, Tandu/Kebesaran YM Kongco Fat Cu Kung dan tandu tuan rumah, 85 Tandu Kelenteng tamu se-Jawa, Bali, Madura, Sulawesi, dan kesenian Tradisional Betawi. Mereka ada yang datang dari Jawa Tengah, Manado, Bandung, Cirebon, Tangerang, dan Bekasi. (berbagai sumber)