Plesiran Tempo Dulu di Jembatan Tua

Pernahkah anda melintasi jembatan merah yang berada di Surabaya? Kita melewatinya dan tanpa dinyana usia jembatan itu sudah pasti lebih tua dibanding dengan usia kita sendiri. Dibangun pada abad ke-18, pahit getirnya jembatan itu melewati babakan zaman dari masa penjajahan sampai republik ini merdeka pasti telah dirasakannya. Tetap berdiri  dan tak lekang di makan sang waktu yang memang tak bisa berhenti.

            Lantas bagaimana dengan jembatan-jembatan tua lainnya di Indonesia ini, mengecek laman internet di sana sini, eh ternyata banyak juga jembatan tua yang cocok dikunjungi dalam plesiran sejarah,  seperti Jembatan yang berada di propinsi Jambi ini. Adalah Jembatan  Sarolangun dengan model khas eropanya. Jembatan ini juga dikenal dengan sebutan Jembatan Beatrix yang dibangun pada awal abad ke-20 ,sekitar tahun 1923 oleh pemerintah kolonial Belanda dengan menggunakan tenaga kerja asli pribumi melalui kerja rodi.

Jembatan "Beatrix"
       Fungsi jembatan itu dibangun adalah untuk menghubungkan langsung antara dua desa yang berseberangan yaitu  Desa Sri Pelayang dengan Kelurahan Pasar Sarolangun dengan panjang sekitar 100 meter. Dilihat dari fisiknya, konstruksi jembatan itu ditopang oleh  tiga tiang penyangga dengan empat ruas jembatan yang menyatu. 

        Nah soal nama jembatannya sendiri yaitu “Beatrix”  kemungkinan diambil dari nama salah satu ratu belanda yang lahir tahun 1938. Hal ini diperkuat dengan adanya prasasti saat peresmian jembatan itu pada tahun 1939, dimana ada tugu batu sejenis marmer  yang bertuliskan “Beatrix Brug”, pangkal jembatan dari arah pasar bawah Sarolangun.
       Penamaan jembatan tersebut mungkin merupakan hadiah atas lahirnya putri Beatrix Wilhelmina Armgard, yang tidak lain adalah anak dari  Putri Mahkota Juliana dari Belanda dan Pangeran Bernhard, yang lahir tahun 1938, setahun sebelum jembatan itu diresmikan.

Itu Jembatan Beatrix di Jambi, anda yang pernah atau tinggal di Surabaya pasti mengenal dengan jembatan yang satu ini, Yup adalah Jembatan Petekan yang merupakan sebuah jembatan tua peninggalan zaman Belanda yang terletak di bagian utara  Surabaya.

Jembatan Petekan
Jembatan ini bukan jembatan biasa karena dulunya adalah jembatan layang yang akan terbuka apabila ada kapal di bawahnya melintas. Jembatan itu dibangun sedemikian rupa sebagai jembatan gantung yang bisa dinaik-turunkan karena saat itu Sungai Kalimas menjadi jalur transportasi utama perahu dan kapal tradisional yang membawa barang ke kawasan perdagangan di Kembang Jepun.

 Sebelum jembatan itu dinamakan sebagai Jembatan Petekan,  oleh pihak Belanda jembatan itu dinamakan Jembatan Ophaalbrug dan di bangun oleh NV Braat and Co sekitar awal abad ke-20. Nah, entah kenapa kemudian nama jembatan itu berubah menjadi Jembatan Peteka. Petekan sendiri diambil dari kata dalam bahasa Jawa, Petek, yang artinya di pencet atau di tekan.

Selain Jembatan Petekan, masih di kota yang sama  ada juga Jembatan Gubeng yang tak kalah kesohornya yang telah mencapai umur 112 tahun. Jembatan yang menyeberangi sungai Kalimas depan Stasiun Gubeng ini menghubungkan daerah Gubeng dengan Jalan Pemuda (Simpang). Awalnya material konstruksi jembatan yang awalnya bernama Goebeng Brug ini bukan terbuat dari beton melainkan bambu dan kayu . Akan tetapi, lantas dibongkar dan dibangun lagi dengan menggunakan struktur besi sekitar tahun 1924.

Kita tinggalkan Surabaya, sekarang mari kita ke Jakarta ke kawasan  kawasan Pekojan, Jakarta Barat tepatnya di wilayah Tubagus Angke ada sebuah jembatan yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat. Disanalah Jembatan Kambing berada. Asal muasal namanya sendiri tidak bisa dilepaskan dari banyaknya kambing-kambing yang melintasi melewati jembatan itu. Lantas apa hubungannya dengan hewan yang satu ini?

Nah, daerah Pekojan sendiri  sampai dengan 1950-an mayoritas penduduknya adalah keturunan Arab yang sebagian besar berasal dari Hadramaut (salah satu wilayah di selatan Yaman). Besarnya jumlah komunitas keturunan Arab ini menyebabkan banyak pula pedagang kambing yang jualan di tepi Kali Angke itu. Dan para pedagang kambing ini sebagian besar juga keturunan Arab.

Namanya juga pedagang  kambing,  kambing-kambing yang didatangkan dari berbagai tempat, sebelum disembelih di pejagalan lebih dulu melewati jembatan Kali Angke yang memisahkan Pekojan dan Jl Tubagus Angke. Nah, dari kebiasaan hilir mudiknya kambing-kambing di jembatan itu maka dinamakan Jembatan Kambing.

Selain jembatan itu, di Jakarta juga ada jembatan yang bernama Jembatan Pasar Ayam yang terletak di  Kali Besar. di dekat Hotel Omni Batavia di Jalan Kali Besar Barat. Lagi-lagi memakai nama binatang untuk nama jembatan seperti nama jembatan diatas. Jembatan Ayam ini dibangun pada tahun 1628 dan dulunya diberi nama Engelse Brug” atau “Jembatan Inggris”.

Jembatan Pasar Ayam
Jembatan itu yang menempati lokasi yang menurut peta masa Gubernur Jenderal Van der Parra, merupakan pasar ayam dan sayuran, yaitu yang terletak di sebelah utara gereja lama Portugis (Binnenkerk). Lahan bekas pasar ayam itu kemudian dijadikan lokasi tempat perbaikan kapal. Karena Boom Besar dalam jangka panjang juga akan dibangun, maka pembesar kumpeni merencanakan lokasi untuk gudang-gudang di tepi Kali Besar itu. Karena itulah dibangun jembatan angkat, sehingga perahu-perahu yang mengangkut berbagai kebutuhan sehari-hari tetap dapat melewati Kali Besar.

Di kota kembang  Bandung, tepatnya di Jatinangor ada sebuah Jembatan yang bernama Jembatan Cincin. Jembatan Cincin dibangun oleh perusahaan kereta api Belanda yang bernama Staat Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf pada tahun 1918. Jembatan Cincin ini pada awalnya dibangun sebagai penunjang lancarnya kegiatan perkebunan karet. Dus, Jembatan ini pun berguna untuk membawa hasil perkebunan.

Pada masa itu Jembatan Jatinangor menjadi salah satu roda penggerak perkebunan karet terbesar di Jawa Barat. Jembatan ini menjadi salah satu roda penggerak perkebunan karet terbesar di Jawa Barat. Dan sekarang ini jembatan cincin telah beralih fungsi sebagai jembatan penyeberangan penduduk setempat dan para mahasiswa yang tinggal di sana (kost) karena lokasinya yang berdekatan dengan kampus Universitas Padjadjaran di Jatinangor.

        Kita tinggalkan tanah Jawa menuju ke Sumatera, tepatnya di Payakumbuh di sana ada sebuah jembatan yang bernama Jembatan Ratapan Ibu. Kenapa namanya Ratapan Ibu? Ini masih menjadi misteri, namun Jembatan Ratapan Ibu adalah sebuah Jembatan tua yang dibangun pada tahun 1818

Jembatan ini memiliki panjang 40 meter dengan arsitektur kuno berupa susunan batu merah setengah lingkaran yang direkat dengan kapur dan semen tanpa menggunakan tulang besi. Jembatan ini melintasi Sungai Batang Agam, menghubungkan Pasar Payakumbuh dan nagari Aie Tabik. (berbagai sumber)

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama